Selo, 27 Desember 2016
Saya masih tidak begitu yakin bahwa saya sudah sampai Selo dan hampir melakukan pendakian. Ini adalah pendakian pertama saya (setelah Gunung Bromo, Sikunir, dan Nglanggeran di mana ketiganya adalah gunung wisata, kalau teman yang lain menyebut tiktok alias sekali jalan, atau daki-turun cukup dalam satu hari). Beberapa orang cukup heran karena pemilihan gunung yang mungkin bagi orang lain terlalu ekstrim bagi pemula.
Sedikit takut, wajar. Sedikit khawatir, tentu. Namun sepuluh hari sebelum pendakian, saya diarahkan adek saya Fahrul untuk olah fisik dengan cara jogging namun tidak dipaksakan. Selain itu, mbak Lina juga selalu mengingatkan peralatan yang harus disiapkan agar tetap bertahan hidup di atas sana. Well, karena pendakian ini atas restu simbok tercinta, dicarikan headlamp juga oleh kakak saya (beserta cadangan baterai yang jumlahnya mungkin lebih dari satu lusin), sandal gunung milik kakak perempuan saya yang dulu juga senang hiking, sleeping bag dari adek sepupu saya Lia, beserta carrier dan matras dari tetangga saya dek Cahya.
Bismillaahirrahmanirrahiim. Sebelum pendakian, kami berdiri melingkar untuk meluruskan niat dan berdoa bersama. Tidak lupa kami mengambil gambar sebelum pendakian agar lebih semangat. See, welcome to Merbabu via Selo!
Pukul 14.00 di Gerbang Pendakian
Suasana begitu sunyi. Ada beberapa rombongan yang juga berjuang naik, ada pula rombongan yang baru saja turun. Saat itu jelas sekali kekhawatiran saya tidak bisa disembunyikan. Saya berjalan paling depan dan semuanya tenang, tanpa suara. Bukannya membuat saya ikut tenang, saya takut salah jalan dan ternyata teman-teman saya yang seharusnya di belakang saya, semua menghilang! Ya ampun, saya serius takut sampai pada akhirnya saya minta mbak Lina untuk mengajak saya ngobrol, agar saya merasa ada orang di dekat saya.
Saat itu saya masih ingat, sebenarnya perjalanan yang tenang itu agar tidak mengganggu makhluk yang lain. Akan tetapi ya sudahlah, daripada saya mikir macem-macem. Dan belum sampai apa-apa, saya sudah minta istirahat. Dasar emak-emak, gerak dikit langsung lelah. Ohya, sebenarnya ketakutan saya cukup beralasan. Saat itu saya sedang haid. Berdasarkan informasi yang saya baca di internet, orang yang sedang naik gunung dalam keadaan haid, akan lebih mudah untuk diganggu, bahkan sampai kesurupan. Jadi saat di basecamp saya cek dan ternyata saya haid, pikiran saya langsung kemana-mana.
Selama perjalanan, kami menemukan beberapa patok kecil dari pipa semen bertuliskan 04 HM hingga 30 HM. Ketika nanjak, angka HM yang diharapkan pastilah dengan angka yang lebih banyak, kalau pas turun, pastilah senang ketika pipa semen penanda menunjukkan angka yang kecil. Berdasarkan penerawangan saya, HM yang dimaksud adalah hektometer. Jadi total ketinggian Merbabu adalah 3142 meter sehingga kurang lebih, pipa semen terakhir akan menunjuk angka 30 HM atau 3 KM. Berarti, apabila kamu berdiri di samping pipa semen 04 HM, tandanya kamu sedang berada pada ketinggian 400 mdpl dan masih harus menempuh sekitar 2500 meter lagi untuk mencapai puncak. Keren kan?
POS 1-3 Merbabu
Tanah yang terbilang tidak cukup lapang ternyata disebut pos 1. Kami beristirahat sejenak sebelum pos 1 karena pos 1 cukup ramai. Pundak mulai terasa berat oleh tas carrier 55L yang saya bawa. Idealnya, perempuan memang cukup membawa daypack, tapi maklum, saya kan pendaki pemula, jadi pinjamnya ya carrier, 55L pula.
Perjalanan dilanjutkan ke pos 2. Setelah melihat kondisi awak rombongan yang cukup lelah, akhirnya kami berhenti cukup lama di pos 2, utamanya untuk menunaikan sholat. Saya yang selo ini, mengambil beberapa foto pemandangan yang indah nian. Gunung Merapi terlihat gagah dari seberang. Atau itu Lawu ya? Atau Sindoro? Sumbing? Ah entahlah, yang pasti dia cantik sekali.
Saat mereka sudah hampir selesai, saya mengawali perjalanan. Bukan berniat meninggalkan, akan tetapi saya sadar, mereka akan lebih cepat menyusul saya. Saya ditemani Linda, Dwi, Fitri, dan tentu superwoman saya, Mbak Lina. Saya, saat itu, merasa cukup payah karena harus sedikit-sedikit berhenti. Sebenarnya bukan tanpa alasan, karena saya sudah cukup mengenal kondisi kaki dan jantung saya saat itu. Apabila dipaksakan, kaki saya bisa kram dan jantung saya bisa tidak terkendalikan karena kaget dengan perjalanan yang menantang.
Sesampainya di pos 3, kami beristirahat tidak sampai 5 menit dan langsung melanjutkan pendakian. Maklum, matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Saat itu pula, langit berubah menjadi jingga kehitaman. Angin mulai bertiup kencang. Medan mulai tak terlihat. Dan angin membawa tanah serta bebatuan yang mendarat sempurna pada mata. Jangan ditanya, medan dari pos 3 menuju sabana 1 adalah medan paling greget selama pendakian. Kemiringan yang hampir seperti tangga di rumah, carrier yang berat, badai yang tiada hentinya, tanah bebatuan yang beterbangan, lengkap sudah. Saat itu, sudah lebih dari tulisan 22 HM. Dua puluh dua hektometer. Sebentar lagi sampai puncak. Tidak terasa, mendapat sekian bonus selama perjalanan. Ohya, bonus adalah sebutan para pendaki untuk medan yang landai tau relatif datar. Kenapa disebut bonus? Karena medan tersebut bisa membuat pendaki sejenak beristirahat.
Lalu, apa yang terjadi setelah badai melanda di malam yang gulita? Next, Merbabu Part #3