Merbabu Part #5 : Edisi Nyungsep Saat Turun Gunung

Merbabu, 28 Desember 2016

Hari sudah semakin terik. Saatnya pulang kembali ke Jogja. Meski belum mendapat sunrise seperti di foto pendaki Merbabu kebanyakan, tidak masalah. Bukan sunrise yang saya cari. Kalaupun jumpa, itu bonus. Menjelang dhuhur, seluruh peralatan camping diberesi. Mengambil foto satu, dua, tiga, kemudian kami turun satu persatu.

Awalnya terik. Kemudian saat turun dari sabana 1 ke pos 3, gerimis kecil mulai turun. Kami menyusuri jalanan dengan turunan ekstrim. Bukan hanya derajat kemiringannya, namun juga bahan dasar dari yang kami pijak. Batu yang licin, tanah yang juga pasti licin. Kalau tidak mantap melangkah, bisa dipastikan akan terpeleset. Jadi kalau melangkah, ya harus mantap. Yakin sama pilihan kita. Bukan melulu melaksanakan pilihan orang lain atas hidup kita. Nasihat mereka itu penting, namun letakkanlah sebagai pertimbangan saja.

Menuju pos 2, terlihat semakin tidak kalap saja. Tanah yang diguyur hujan, ditambah jejak-jejak ribuan kaki yang juga naik-turun gunung semakin membuat pijakan begitu meragukan. Khususnya saya. Belum lagi banyak pendaki yang turun gunung akan tetapi mereka santai saja berlari. Ya, turun gunung dengan berlari. Jalan pelan saja takut nyungsep, apalagi berlari. Kalau terpeleset gimana? Belum lagi di bawah sana banyak batunya? Kemungkinan masuk jurang juga bisa. Tapi mereka enteng saja, kenapa?

Kaki saya pernah tersiram air panas pada akhir 2014. Menyebabkan luka bakar stadium 2 menuju 3 dan membuat saya harus istirahat total selama kurang lebih 1,5 bulan di atas kasur. Kaki mengalami atrofi hebat terutama pada dengkul karena jarang bahkan hampir tidak digunakan. Efeknya? Jelas masih terasa sampai sekarang. Kalau saya dalam keadaan tertekan atau ketakutan, kaki saya akan lunglai seketika. Dan itu terjadi saat turun gunung. Akibatnya?

Mbak Lina dan Linda turun satu step lebih dulu. Mereka menunggui saya yang satu step di atas mereka dengan harapan saya bisa landing dengan sempurna. Mereka sudah berjaga di bawah untuk menopang saya, sebagai “rem” saat saya turun dalam posisi berlari. Dan benar saja. Saya lari dan 0,5 meter sebelum nabrak mbak Lina, saya mendarat lebih dulu. Bukkk! Di atas dahan kayu yang keras dan mengenai bagian perut. Beruntung saya menggunakan korset perut, jadi sama sekali tidak sakit. Saya juga memilih nyungsep ke depan karena carrier yang ada di punggung saya hanyalah carrier pinjaman. Demi dedek carrier :’)

Kejadian itu tidak membutuhkan waktu bermenit-menit. Sesaat saya mengambil posisi kuda-kuda, saya mantap melihat mbak Lina (tapi sama sekali tidak mantap akan sampai di tujuan dengan sempurna), saya berlari dan brukkk. Kaki saya lunglai seketika kemudian menekuk dan akhirnya badan pun roboh. Memegangi kaki mbak Lina dan dengan bahagianya mbak Lina tertawa. Sesungguhnya mbak Lina jahat sekali 🙁

Sangat fatal memang, tapi kemudian, cukup membuat saya berani menentukan jalan saya sendiri. Saya belajar banyak hal dari kejadian itu. Misalnya…

Kapasitas diri kita hanya kita sendiri yang tau, bukan orang lain

Tidak boleh memaksakan untuk membawa beban yang melebihi kekuatan kita. Apalagi beban itu ada unsur milik orang lain. Bukankah makin terasa berat dalam menanggungnya?

Kesulitan dan kemudahan dalam hidup itu bukan pemberian, melainkan keputusan

Ada banyak yang tidak kita sadari soal perantara atau alat. Alat kita dalam mencapai tujuan hidup misalnya. Dalam hal ini, celana. Saya masih setia menggunakan rok celana saat turun gunung. Saya menggunakan carrier yang tingginya melebihi kepala sampai membuat kepala terbentur-bentur. Begitulah. Kesulitan dan kemudahan dalam hidup kita itu bukan pemberian, melainkan keputusan yang kita buat sendiri.

Pilihannya ada 2, mantap melangkah atau berhenti sejenak

Ada keadaan di mana kamu harus memutuskan. Orang lain pun berbusa meyakinkan. Namun kemantapan hatimu tak kunjung datang. Pilihannya hanya dua, segera melangkah atau berhenti sejenak. Pabila sudah yakin, segeralah melangkah. Pabila belum, sebaiknya berhenti sejenak.

Merbabu benar-benar membuat saya belajar banyak hal. Suatu hari nanti, ingin ku temui lagi sejuknya. Ingin ku selami lagi hikmah-hikmah sepanjang jalan yang bisa dilalui. Semoga kelak ada kesempatan. Karena setiap jejak waktu seperti berkisah. Nantikan ya!

Recent search terms:

turun gunung dengan berlari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.