Jogja, Februari 2017
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Sebuah kalimat yang saya baca di Taman Pintar Yogyakarta. Waktu meninggalkan kisah-kisah. Yang hanya bisa dikenang dengan damai, bukan sebagai penghambat perjalanan. Februari 2017, saat usia genap 23. Merunut kembali perjalanan di Merbabu, membuat saya semakin yakin bahwa saya ini bukan siapa-siapa. Yang masih banyak PR-nya untuk menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi.
I love places that make me realize how tiny I am and my problems are.
Saya tau mengapa banyak pendaki begitu cinta pada perjalanannya. Pada gunung yang menjadikannya tau, bahwa sesungguhnya yang dilawan bukanlah gunungnya, melainkan ego dalam diri. Bagaimana mengenal diri sendiri baik lahir maupun batin, demi memenuhi syair “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”.
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Seperti yang sering diceritakan ibunda saat persalinan saya. Kala itu, ibunda mengalami pendarahan hebat, bahkan leher saya terlilit usus sehingga sulit keluar. Meskipun kata orang-orang, kalung usus berarti akan wangun ketika mengenakan pakaian apapun, tapi saya sadar itu juga membahayakan keadaan ibu saya. Bahkan saat saya se-tua ini, apa yang saya kenakan, apa yang saya pilih untuk dilihat orang lain, bisa jadi membahayakan keadaan ibunda.
Setiap yang kita pilih dalam hidup ini, ada doa ibunda.
Jangan sampai kita menyakiti beliau, apalagi membuat beliau dalam bahaya.
Bahaya timbangan amal, di hari pembalasan.
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Seperti yang saya ingat saat masih SD. Saya tiba-tiba pulang kemudian menangis di atas kasur. Saat itu masih hits sinetron di mana ketika aktornya menangis, sang aktor akan berlari ke dalam kamar dan membuang dirinya di atas kasur dan membenamkan wajahnya di atas bantal. Saya masih sangat ingat, sinetron benar-benar mempengaruhi pola pikir saya, sebagai anak-anak. Mengapa saya tiba-tiba menangis? Karena saat itu saya dipojokkan oleh beberapa teman yang mengatakan: kamu pasti lebih tua, kamu tidak mungkin kelahiran 94. Tidak lain karena saat itu, kemampuan saya dalam menangkap pelajaran lebih tinggi dari mereka. kemudian saya menangis. Itu baru bully secara langsung. Hari ini, punya media sosial?
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Saat itu masih kelas 3 SMP. Beberapa teman saya mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Ingin rasanya, kemudian saya sampaikan kepada keluarga. Namun ternyata, keluarga tidak berkenan. Akan sama saja, katanya. Namun saat itu saya ingin sekali. Bukan butuh sekali. Namun, lingkungan, mewarnai saya lebih cepat. Kemudian saat ini saya berpikir, mengapa keluarga menjadi nomor dua setelah orang di sekitar kita? Yang bahkan tidak ikut memikirkan biaya les, uang saku les, dan pritilan lainnya.
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Saat itu saya mengikuti beberapa organisasi. Yang membuat saya sadar untuk bisa lebih dekat dengan alam dan mempelajari kalam Tuhan. Namun sayang sekali, saat itu saya memiliki idealisme yang cukup tinggi. Saat itu, saya tidak pernah bisa berpikir realistis. Mengapa tidak realistis? Karena saya tidak memposisikan diri sebagai lawan bicara saya ketika saya berusaha menyampaikan sesuatu. Saya menyuarakan kalam Tuhan dengan keras. Jika a, maka a. Dengan cara yang baik, namun bukan dengan cara yang diterima. Bukankah penerimaan itu sanga baik?
Setiap jejak waktu seperti berkisah. Kenang tentang hari itu, kala kita bermandikan cahaya sore, melangkahkan kaki bersama untuk menikmati Jogja. Ada cerita yang baru bisa aku selesaikan saat mendaki Merbabu beberapa waktu lalu. Sungguh, dunia kampus membuka mata saya begitu lebar. Tentang membangun relasi yang baik dan bagaimana berbicara dengan orang lain. Tentang pengelolaan perasaan yang pada akhirnya tak tersampaikan. Begitu terkenang.
Setiap jejak waktu seperti berkisah.
Dan aku akan segera membuat kisah dengan hari yang baru. Dengan ringan dan kelegaan yang tidak perlu kau tau. Namun masih ada satu lagi jejak yang terlewatkan, akan segera ku selesaikan bersama hijaunya Prau. Gunung adalah candu, rindu. Salah satu tempat di mana kita bisa mencintai dan merasa dicintai Allah dengan sedekat-dekatnya.
Catatan Kecil : Taman Pintar adalah salah satu wahana edukatif yang wajib dikunjungi warga Yogyakarta pada khususnya. Tanpa batasan usia, karena pembelajaran di sana bisa diterima oleh usia berapapun. Tentunya, sangat menarik dan beberapa spot membuat kita merasa tertantang untuk mencoba atau menyelesaikan masalah yang disediakan. Tiketnya pun murah, cukup sepuluh ribu saja.