Aku terdiam sejenak memandangi pesan darimu. Mungkin pesan terakhir yang kau kirimkan. Pesan terakhir darimu yang -aku berjanji pada diriku sendiri- tidak akan ku balas sampai kapanpun. Aku termenung. Melihat kata pamitmu dengan gaya yang lain.
Aku sedang dekat dengan seorang perempuan. Menurutmu bagaimana? Mohon didoakan ya.
—
Malam semakin larut. Tiada keinginan sedikitpun untuk membalas pesanmu. Aku masih terdiam. Mungkin ini memang sudah jalanku. Bahwa setiap aku mencintai, aku akan bertepuk sebelah tangan. Aku membolak-balik buku warna hijau bergambar karakter yang sedang laris di pasaran. Melihat beberapa catatan kecil tentangmu. Betapa detailnya aku yang selalu menuliskan jadwal harianku. Hari Senin. Hari Kamis. Hari Minggu. Ketiganya adalah hari terbaik, karena pada ketiga hari tersebut, Tuhan memberiku kesempatan untuk memeluk matamu barang sekejap.
Tapi pesanmu yang terakhir itu, sudah cukup membuatku berhenti dan berbalik arah sekuat tenaga. Kamu harus tau, aku yang salah. Aku yang telah jatuh cinta lebih dulu. Aku yang memaksakan harapanku untuk kau wujudkan, sedangkan kamu bahkan tak pernah menoleh kepadaku, sedikitpun. Aku cukup tau diri, karenanya aku harus menjauh, agar bahagia selalu yang ku kenang. Bukan rasa pahit atau perih.
—
Kamu di mana?
Aku sedang dalam perjalanan menuju ke stasiun, jawabku dalam hati. Kini telah Tuhan bulatkan tekad untuk menjauh darimu. Sungguh, bukan kehendakku. Tuhan yang telah mengaturnya sedemikian rupa. Ada pekerjaan baru di Bandung. Aku harus menjemput rezekiku di sana. Dan kamu tidak perlu tau ke mana aku pergi, dan untuk apa aku sebenarnya pergi.
Kamu di mana?
Tanyamu sekali lagi.
—
Gerimis memenuhi langit Bandung. Hari ini hari Sabtu. Aku libur kerja. Ku buat segelas besar teh panas dan ku goreng 3 sisir pisang raja. Perlahan ku geser tempat dudukku mendekat ke arah jendela. Membolak-balik buku. Membolak-balik album foto. Membuka beberapa akun sosial mediamu. Ternyata sudah hampir satu tahun kita tiada berkabar. Aku tiba-tiba rindu.
Sejenak ku buka website pemesanan tiket kereta api untuk kembali ke Jogja. Mungkin untuk menemuimu sejenak, lalu berpamitan baik-baik. Dan sore ini ada jadwal ke arah Lempuyangan. Segera ku klik booking untuk memesan satu kursi.
Ku ambil dompetku dan sedikit memoleskan bedak serta pelembab bibir. Hanya 2 jam waktu tenggang pembayaran pesanan tiket. Bergegas ku membuka pintu dan oops! Kamu?
Aku boleh pergi, tapi kamu jangan.
Ucapmu pertama kali saat mendapatiku kaget karena mendapatimu persis di depan pintu kontrakanku. Pernyataan yang terdengar kurang adil, tapi membuatku lega. Sesederhana: ternyata, kamu masih ingat aku. Meski kamu sudah bersama yang lain.
Tapi maaf, aku tidak ingin bersinggungan denganmu lagi. Dan aku telah purna untuk menyakiti diriku sendiri. Masih di dekatmu adalah luka. Dan aku memutuskan untuk pamit. Terima kasih telah menyempatkan ke sini. Silakan pulang. Hati-hati.
Aku menutup pintu pelan. Kamu pasrah dengan keadaan. Aku tersenyum tipis dari balik pintu yang gagangnya masih erat ku pegang.
Bahwa kita harus tau di mana kita berdiri. Bahwa kita harus berhenti menyakiti diri sendiri. Dengan mencintai seseorang yang ternyata meletakkan cintanya untuk orang lain. Tanpa bisa kita miliki. Mereka bilang, kita harus logis. Dan aku berani bertaruh, berpikir logis adalah keputusan paling jujur dan membahagiakan yang sudah sepantasnya kita lakukan.
Lalu senyumku terkembang. Sempurna. Sederhana.
So deep