Setiap orang pasti pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Menyalahkan keadaan. Menarik diri dari lingkungan. Dan yang paling parah, membenci Tuhan. Bahwa Dia tidak adil dibalik namaNya yang Maha Adil. Bahwa Dia tidak Penyayang dibalik namaNya yang Maha Penyayang.
Secara umum, life crisis seseorang berada pada usia 20an. Saat begitu banyak pertanyaan-pertanyaan hidup. Saat lingkungan begitu mengintimidasi jati diri. Saat (lagi-lagi) menyalahkan: orang lain-lah yang menjadi pemicu ini semua. Merasa serba salah. Tak berguna. Tak berharga.
“Nak, pilihlah jurusan ini saja. Besok lebih mudah dapat kerja.”
“Nak, contohlah si X. Dia berhasil menjadi PNS.”
“Nak, kamu harus bekerja di kantor.”
“Nak, lanjuts S2 ya?”
“Nak, apa gunanya kamu untuk keluarga ini?”
Suatu hari saya membaca buku berjudul Self Driving karya Rhenald Kasali. Ada satu quote yang saya ingat betul, “sejauh apapun kamu salah arah sekarang, putarbalik-lah!”. Satu kalimat yang membuat saya mengingat kembali masa lampau. Masa di mana saya tidak memiliki cukup bekal untuk memilih jalan hidup saya sendiri. Hingga akhir-akhir ini saya merasa perlu memutar balik, namun di sisi lain, ini sudah terlalu jauh.
Bagi engkau yang membaca blog ini dan masih usia belasan. Jadilah cerdas, Nak. Hidup itu hanya sekali dan kamu sendiri yang menanggungnya, bukan orang lain. Bilamana pilihanmu berbeda dengan orang-orang di sekelilingmu, bukan berarti kelak kamu tidak bisa hidup, Nak. Melainkan telah Allah jamin rezekimu, asalkan engkau berusaha dan berdoa.
Terkadang, Nak. Orang lain merasa lebih tau tentang hidup kita. Masa depan kita. Namun kalian harus paham, Nak. Tidak selamanya kita bergantung dengan mereka. Tugas kita hanyalah: (1) Paham benar mana yang hanya keinginan, mana masa depan. Mungkin menjadi dokter itu keren, tapi yakinkah kita bisa melalui setiap proses menuju seorang dokter, Nak? (2) Meyakinkan diri sendiri untuk bisa melewati setiap tantangan dan keseruan yang Allah kasih selama menjalani pilihan kita. Kita sudah memilih kuliah kedokteran, kalau lihat darah, jangan kabur ya? Kalau harus lembur 24 jam, jangan ngeluh ya? (3) Meyakinkan keluarga bahwa kita bisa melewati setiap proses pada pilihan kita tanpa selalu bergantung kepada mereka. Bila pilihan kita kuliah Biologi misalnya, dan mereka berpikir kita pasti akan susah dapat kerja, atau tempat kerja “tidak bergengsi” di mata mereka, maka sampaikan ayat ini, Nak.
“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al-‘Ankabuut: 62)
“Kamu ustadzah, kenapa pacaran?”
“Jangan sama ini, dia bukan sarjana…”
“Rumah dia terlalu jauh, lingkungan asalnya juga kurang bagus.”
Saya pernah dekat dengan seorang laki-laki sewaktu saya kuliah. Belum lama ini saya dengar dia telah menikah. Barakallaahu lakuma wa baraka ‘alaykuma wa jama’a baynakuma fii khayr. Merasa deg, iya. Tapi tidak lama. Hanya saja terkadang masih belum berdamai dengan perkataan sahabat saya,”Kamu ustadzah kenapa pacaran?” Sungguh saya bukan ustadzah. Sahabat saya mengingatkan agar menjauhi pacaran (tolong beri tahu saya definisi pacaran, karena saat itu saya hanya berkirim pesan, bertemupun dua pekan sekali), namun ternyata beberapa tahun kemudian sahabat saya justru lebih intens. Saling berkirim pesan, tingginya frekuensi bertemu, makan bareng, pergi bareng, dan seterusnya dengan seseorang yang tidak dia akui sebagai pacar, namun berlaku seperti pacar. Mungkin kalau dia seperti sekarang jauh sebelum saya dekat dengan seseorang, dia tidak akan berkata demikian kepada saya. Mungkin saja keadaan saat ini bisa saya salahkan. Saya yang gagal bareng dengan seseorang, tapi dia enteng saja bersama orang lain. Sungguh ingin saya tatap matanya, lalu saya putar balik omongannya!
Tapi tidak begitu. Toh, tidak bisa diapa-apakan lagi. Hanya bisa saya doakan.
Saya tidak pernah memimpikan kantor yang mewah. Gaji yang besar. Atau apapun itu. Tapi suatu hari saya menyadari bahwa kantor tempat saya bekerja bukanlah tempat nyaman yang saya dambakan, melainkan neraka yang akan saya huni bertahun-tahun. Orang yang saya hormati, yang saya tutupi aib-aibnya, kekurangannya, ternyata justru menginjak-injak saya.
Terlambat adalah kebiasaan saya yang sedang saya upayakan. Suatu instansi tidak akan pernah menoleransi pegawainya yang telatan hanya karena pegawainya merasa karir tersebut bukanlah pilihan hidupnya. Setiap bangun pagi, saya selalu merasa lelah. Mempertanyakan teman-teman yang bekerja di kantor dengan jam masuk lebih siang namun mendapat gaji yang lebih tinggi. Membayangkan pekerjaan yang berhubungan dengan alam setiap hari. Sedang saya tidak.
Bangun sih pagi, tapi entah mengapa default untuk berangkat tetap saja siang. Raga pun begitu malas untuk melakukan rutinitas yang bagi saya sangat membosankan. Sampai pada hari itu, saya terlambat padahal ada jadwal Try Out.
Begitu masuk gerbang, saya parkirkan motor di dekat kantin. Saya lari ke dalam Lab karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Sebenarnya pekerjaan saya tidak banyak, hanya menyalakan server sekitar 10 menit saja. Untuk komputer siswa, nanti siswa-lah yang menyalakannya sendiri. Dan pada hari itu partner saya sedang sakit, jadi beliau tidak bisa mendampingi saya. Namun tiba-tiba berkumpul beberapa orang. Mengatakan di grup Try Out “seolah” Lab saya belum siap sama sekali. Padahal semua alat sudah saya pasang sore sebelumnya bersama teman saya. Batin saya saat itu adalah,”Teman saya tanpa pamrih lembur menemani saya, kok ini yang tidak tau apa-apa tiba-tiba ah..sudahlah”. Saat itu keinginan resign semakin kuat.
Dalam keadaan sudah hobi menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, merasa tidak berguna, tidak berharga, akhirnya saya menarik diri. Saat di sekolah, saya datang, mengajar, lalu pulang. Sepulang bekerja, saya mengurung diri di dalam kamar. Tidak bercerita kepada siapapun selain bermonolog, sesekali terdengar suara sesenggukan. Satu periode hidup di mana saya merasa sungguh ingin kembali menghadapNya. Ya Allah, kula lelah.
Waktu berlalu. Namun saya belum juga sembuh. Hingga pada akhirnya saya dikuatkan oleh dua orang yang menurut saya paling fair untuk menjawab keresahan saya saat itu. Salah satunya berkisah tentang Cerita Mencari Tuhan. Begini ceritanya.
Seseorang berkata,”Saya mau bertemu Tuhan. Saya mau melilhat kuasaNya.”
Lalu seseorang itu pergi ke tengah laut, minta diantarkan kapal nelayan. Sesampainya di tengah laut, seseorang itu minta ditinggalkan dan terombang-ambing sendirian. Beberapa waktu kemudian, datanglah sebuah kapal kecil milik nelayan yang lain. Pengemudinya berteriak ke arah seseorang itu,”Ayo lekas naik!”
Seseorang itu menjawab,”Tidak, terima kasih. Saya mau bertemu Tuhan. Saya mau yang menolong saya adalah Tuhan!”
Pengemudi kapal geleng-geleng kepala. Setelah menunggui seseorang itu cukup lama, akhirnya dia memutuskan meninggalkan seseorang yang keras kepala itu. Ada-ada saja meminta bertemu Tuhan di tengah laut.
Seseorang itu berteriak kembali,”Tuhan, Engkau di mana? Jika benar Engkau Tuhan, maka selamatkan aku!”
Tak jauh dari seseorang itu terombang-ambing, bergerak mendekat kapal yang lebih besar dari kapal nelayan. Awak kapal mencoba melebarkan jaring, melempar pelampung, dan pelbagai upaya penyelamatan lainnya. Seseorang itu tak bergeming. Hingga awak kapal pun berteriak kepadanya,”Hai kamu. Jangan bunuh diri. Lekaslah dapati jaringku dan pelampung itu. Lalu mendekatlah ke kapal.”
Seseorang itu masih bersikeras,”Tidak! Tuhan pasti menyelamatkanku!”
Awak kapal hanya tercengang. Lalu meminta nahkoda untuk melanjutkan perjalanan. Sesaat setelah kapal besar itu berlalu, seseorang itu kelelahan. Berjam-jam ia menunggu kapal selanjutnya. Namun tak kunjung ada. Akhirnya ia meninggal dunia.
Cerita tersebut membuat saya semakin sadar. Bahwa mungkin Tuhan bukannya tidak sayang, tidak adil, dan tidak-tidak yang lain kepada saya, melainkan Dia memberi saya kesempatan-kesempatan. Hanya saja, mungkin saya yang terlalu sombong dan terlambat menyadari.
Dengarlah Nak. Ingatlah selalu bahwa ridho Allah terletak pada ridho orang tua. Bila ingin putar balik dan terlalu jauh, ingatlah. Mungkin karir saat ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan. Pertolongan yang Tuhan berikan, lewat tanganNya yang lain. Tetaplah menjalani hidup sebagaimana mestinya. Tetaplah berusaha dan memohon kelapangan rezeki kepadaNya lewat doa. Tetaplah berdamai dengan setiap keadaan. Maafkan mereka. Karena sesungguhnya, bukan orang lain yang menyembuhkan. Melainkan Tuhan dan diri kita sendiri. Bila keadaan memaksamu untuk marah. Maka jauhilah keadaan itu. Bila keadaan menginginkanmu untuk menyalahkan orang lain. Maka pergilah dari keadaan itu. Tarik nafas sejenak. Lalu kembali lagi menjadi dirimu yang sebenarnya. Seorang pribadi baik. Yang cinta dan dicintai Tuhannya.
menarik sekali. topik dan pembahasannya bagus mba. saya sekedar ingin menambahkan pendapat, bahwa berkaitan dgn judul life crisis dan cerita mencari tuhan, setiap manusia sudah punya takdir masing-masing.
bahwa keterlambatan berpikir mengenai sesuatu dims lampau, atau ttg kehidupan itu sebenar-benarnya klo mau ditelaah sudah takdir. walaupun sebenarnya kita itu punya pilihan, tapi yg menjalankan pikiran, otak, keputusan itu ttp dlm kuasa Allah.
org pondok, tentu pola pemikiran berbeda dgn org umum pda biasanya. apalagi berkaitan dgn tujuan hidup/hakekat sbnrnya kita hidup, untuk apa, buat siapa dll.
Betul, terima kasih sudah berbagi 🙂 Maklum bukan orang pondok, pun sebenarnya jika disebut Islam, pasti sudah tau hakikat hidup. Namun apakah disebut beriman bila tidak diuji? Dan quarter-life biasanya menjadi salah satu crisis dalam hidup seseorang. Bisa sebagai salah satu ujian untuk: bener nggak kamu percaya sama Allah?
maaf, saya bukan bermaksud menggurui. maaf klo kata2 saya kurang berkenan. saya juga bukan orang pondok mba. saya cm sekedar berbagi opini dan pendapat saja.
iya, saya setuju dgn org beriman diberikan ujian hidup.
maksud mba percaya gak sm allah berarti konteksnya tentang habluminallah, bukan habluminannas ya? .
Saya kurang paham.. hehe. Bahasa njenengan terlalu tinggi, saya masih fakir ilmu..