Beri Aku Kesempatan, Sekali Lagi

“Risa…”

Sebenarnya semua begitu sederhana. Namun ketika berada di tangan perempuan, terlihat rumit adanya. Hari ini, entah kesekian kali aku memburu mesin waktu. Rasa ini masih sama. Aku-pun masih sama. Berotasi, namun tak bergerak. Aku merasa cukup hanya berdiam pada satu titik. Titik rasaku, yang mencintaimu.

“Apa sih San?”

“Beri aku kesempatan. Sekali lagi.”

“Untuk?”

“Kita uraikan benang yang telah tersimpul ini. Kita mulai dari awal lagi.”

Aku menatap matanya yang penuh harap. Apa yang telah terjadi, tidak seperti yang kau bayangkan. Sandy adalah lelaki yang baik. Dia sabar. Cara pikirnya dewasa. Dia, lelaki biasa yang tidak pernah membuatku bosan. Namun pada suatu titik, kami, sudah tidak bisa dilanjutkan. Cerita kami harus usai. Bukan karena tak ada lagi kecocokan. Bukan karena kami.

“Ya ampun sa, kamu masih sama Sandy?”

“Kenapa?”

“Kamu yakin dia bakal bisa jadi pemimpin dalam rumah tanggamu?”

“Apa sih Ra?”

“Nak, pacarmu itu, dari mana?”

“Jakarta Bu.”

“Jauh ya?”

“Eh, Ibu bilang pacarmu dari Jakarta. Katanya orang Jakarta itu …”

“Kenapa?”

“Suka mainin cewek.”

“Oh.”

San, sudah makan belum? Biasanya kamu suka lupa makan. Bagaimana tugasmu? Sudah dicicil? Kemarin ku lihat ada banyak sticky notes menghiasi layar laptopmu. Aku curi lihat dari meja yang berbeda saat kita berada di kafe kampus pada waktu yang sama. Aku tau, San. Ini nggak cuma berat buat kamu. Tapi juga buat aku…

“Risa, lagi apa?”

“San, sudahlah. Tidak usah menghubungiku lagi…”

“Aku nggak bisa..”

“Kamu sudah makan belum?”

Sent. Pesan itu tak sengaja terkirim. Penerima: Sandy. “Belum, belum lapar.”

“Lah kan kamu baru sakit? Pokoknya jemput aku sekarang, aku temenin makan.” Aku melihat Sandy pucat saat berpapasan naik tangga Laboratorium.

Motor suzuki hitam terparkir di halaman kos. Sandy sudah menunggu di depan. Setelah mengenakan helm, motor melaju ke sebuah warung makan.

“Kita, nggak bisa diselamatkan lagi?” Tanya-nya lagi.

Aku terdiam. Bisa San, bisa. Sangat bisa.

Hari demi hari berlalu. Minggu berubah menjadi bulan. Bulan berganti tahun. Dan satu dua lelaki yang berusaha dekat, tak pernah bisa sepertimu, San. Tak ada yang sesabar kamu.

“Kamu bilang, luang itu hanya perkara prioritas?”

“Iya Vin, tapi aku baru sibuk.”

Laki-laki setelahmu, San. Beberapa diantaranya meminta untuk diprioritaskan, saat dia belumlah siapa-siapa. Setidaknya, sampai hatiku luluh. Namun, mereka menuntutku San.

“Eh, pakai baju ini, baguskah?”

Terkadang aku juga heran, San. Bukankah berpakaian itu hak dia? Seperti saat teman-temanmu gaul sedangkan aku jauh di bawah kata sederhana, lebih tepatnya tidak peduli soal penampilan, kamu tidak pernah protes. Lalu, mengapa orang lain begitu mengatur penampilan dan ingin terlihat ganteng, San?

“Ha? Katamu kita berbeda prinsip? Memang sih kamu pantasnya untuk yang baik. Lalu jelaskan, prinsipmu seperti apa?”

Pernah, San. Ada yang menantang. Menanyakan prinsip. Lalu, jika kelak di antara kami ada permasalahan, dia juga nanya-nya sambil nantang gitu? Kan nggak lucu, San.

Itulah mengapa. Sampai saat ini, tak berani ku membuka hati. Bukan karena tak bisa, namun memang begitulah adanya. Kamu selalu menjadi yang terbaik. Menjadi patokan. Aku yang salah, San?

“Sa, Sandy sekarang sama Kia?”

“Apa urusannya denganku, Ra? Bukankah kamu senang aku sudah tidak bersama Sandy lagi?”

“Ya tapi.. Kan jodoh nggak ke mana Sa. Toh, sekarang Sandy mencari yang lain. Nggak nungguin kamu. Ya berarti kalian memang nggak jodoh. Lagian kamu itu guru ngaji, masa pacaran.”

“Klise kamu Ra!”

San, di mana kamu? Sedang apa? Bersama siapa?

“Jaga dirimu ya?”

Meski frekuensi terbaik untuk mengatakannya bukanlah sekarang, di saat aku bukanlah siapamu. Aku, aku hanya sedikit khawatir. Dan entah sampai kapan engkau membuatku merasa khawatir. Apakah boleh berharap, selamanya?

Jangan, Risa. Jangan selamanya. Ku ingin melihatmu bahagia sepertiku bersama Kia. Dan hari ini, Risa, ku mantapkan tuk mengucap janji kepada Allahu Ta’ala tuk senantiasa menjaga Kia. Esok hari, kamu juga harus seperti itu ya? Harus lebih bahagia.. Jangan pernah khawatirkan aku lagi ya.. Karna justru engkau yang aku khawatirkan. Berikan orang lain kesempatan ya, Risa? Sekali lagi, berusahalah berbagi duniamu, dengan selainku…

(Dikembangkan dari Buku Goodbye Rain)

One thought on “Beri Aku Kesempatan, Sekali Lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.