Selo, 27 Desember 2016
Melupakanmu bukan hal mudah. Setidaknya bagiku. Butuh waktu sekitar 4 tahun, dan sebentar lagi usiaku 23, sudah saatnya benar-benar melangkah. Dan Merbabu, menjadi saksi hidup luruhnya segala hal yang ada dalam hati dan pikiranku, untukmu.
Pukul 17.30 WIB. Sudah hampir terdengar adzan maghrib. Baru sampai pos 3. Harus mendaki sedikit lagi sebelum sampai tempat pendirian tenda di Sabana 1. Angin mulai berhembus kencang. Sepakat dengan berbagai cerita di internet soal pendaki yang diganggu, biasanya diawali dengan angin kencang. Jujur, pikiran saya kembali melayang, nyali menciut.
Pendakian menuju Sabana 1 adalah perjalanan terberat. Jalur dipenuhi dengan tanjakan yang licin selepas hujan. Ditemani langit yang gelap dan tidak sempat menyiapkan penerangan. Headlamp masih berlindung dengan nyaman di dalam tas kala itu. Satu-satunya harapan saya hanya mbak Lina. Dia yang setia menemani hingga Sabana 1 saat yang lain mendaki lebih dulu. Sebenarnya saat itu saya mengutuki diri saya yang payah. Antara jalan cepat tapi nanti tepar di atas, atau pelan-pelan dan akan baik-baik saja sampai turun gunung keesokan harinya. Dan saya egois, membuat mbak Lina harus menambah kapasitas jam pendakiannya yang seharusnya 5 jam menjadi 5,5 jam. Harus sabar nungguin saya yang tiap saat bilang: mbak, istirahat sebentar ya.
Angin berhembus menyamping dengan kecepatan tinggi. Batu kerikil dan tanah beterbangan lantas mendarat sempurna di mata. Langit gelap. Carrier pun terasa lebih berat. Baru kali ini saya merasakan pepatah: Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Dan itu benar. Meski sebenarnya itu konotasi dari semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin kencang pula cobaan yang diujikan. Saat itu, yang bisa terucap hanyalah kalimat istighfar. Memohon ampun. Saat itu, saya tidak mengingat segala masalah remeh temeh di belakang sana, termasuk kamu. Yang ada di pikiran hanyalah, apakah akan tetap hidup, atau ditakdirkan mati di sini?
Sejak saat itu saya sadar, saya memang tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki DIA yang Maha Penolong, Maha Pelindung. Bahkan segala perasaan ini, membuat saya malu, kenapa masih memberikan ruang yang terlalu longgar untukmu, bahkan terkadang lebih longgar dari ruang yang ku luangkan untuk Sang Pencipta. Segala hal di belakang sana adalah kecil, ketika kita dihadapkan pada keadaan hidup dan mati. Itu yang saya sadari. Semuanya luruh. Bersama angin. Tergantikan hawa tenang yang dahsyat. Oleh udara yang berjalan perlahan.
Sabana 1, Pukul 19.30 WIB
Sabana 1. Saya dan Mbak Lina adalah orang terakhir. Teman yang lain sudah mulai mendirikan tenda di tempat yang cukup lapang untuk 3 tenda. Dengan mode ngrusuhi, saya berdiri di sekitar tenda. Saat itu dengan polosnya nanya ke Mbak Lina: mbak, aku udah boleh pakai jaket? Dan mbak Lina menjawab boleh. Maklum, selama pendakian memang tidak mengenakan jaket. Untungnya tidak dingin. Saat di Sabana 1, badai menyerang cukup kuat. Kami harus memegangi tenda dan menahannya dengan beberapa carrier. Dingin, tapi bagi saya masih jauh dari dinginnya Bromo yang membuat gigi saya gemeretak.
Setelah selesai mendirikan tenda, kami berusaha tidur. Saya satu tenda dengan Mbak Lina, Fitri, dan Caca dengan formasi saya (di samping pintu tenda), mbak Lina, Fitri, kemudian Caca. Saat itu saya menyugesti diri saya sendiri, membayangkan tidur di kasur menghadap selatan seperti biasanya. Dan berhasil. Tapi kemudian mbak Lina mulai berisik.
Fitri terkena hipotermia. Dari satu tenda itu memang hanya Fitri yang tidak membawa sleeping bag, dia hanya mengandalkan jaket. Akhirnya Mbak Lina merelakan SB-nya, kemudian gabung sama saya. Kebetulan resleting SB ada di samping pintu tenda, jadi ya saya malah ga kebagian dan deket pintu pula. Yasalam 😀 Dan beberapa waktu kemudian, Fitri tetap hipotermia. Jelas kami bertiga berusaha menyeimbangkan keadaan. Saya dan Caca menghangatkan tangan dan kaki Fitri, mbak Lina berusaha masak air dan BOOM !!!
Api melebar dari kompor ke alas tidur. Kepanikan tidak hanya di dalam tenda kami, tapi juga tendanya Fahrul. Posisi tenda tertutup full dan ketika api menyambar ke salah satu bagian tenda, dimudahkan dengan angin kencang, tak tau apa jadinya. Beruntung api padam dengan sendirinya dengan cukup cepat. Saya cukup shock dan mengecek beberapa peralatan di samping lokasi api yang menyambar. Aman. Pintu tenda dibuka dan mbak Lina mencoba menyalakan kompor kembali dan BOOM !!!
Kami menyerah. Tenda samping menawari untuk masak air di sana saja. Kami mengiyakan. Sementara waktu, mbak Lina pindah ke tendanya Fahrul untuk masak, saya dan Caca berusaha menghangatkan tangan dan kakinya Fitri. Dan sepanjang malam, kami bertiga tidak bisa tidur nyenyak. Malah Fitri yang bisa tidur. Hahaha.
Sabana 1, 28 Desember 2016
Pagi buta, Linda sudah menghampiri tenda saya. Saat kami masih kriyip-kriyip, Linda sudah mengajak kami jalan-jalan. Kata Linda udah pagi. Dan benar, memang sudah pukul 07 pagi 😀 Maklum, angin di luar membuat kami berpikir ini masih dini hari. Akhirnya saya keluar bersama Linda dan Fitri. Mbak Lina dan Caca masih sibuk pupuran 😀 Saya mendapati Merapi dari kejauhan. Mengambil beberapa gambar untuk dikirimkan keluarga dan sahabat yang kebetulan sedang milad.
Tenang. Lega. Ringan.
Tapi Sendiri. Tidakkah kau ingin menemani? Next, Merbabu Part #4