Bantul, 20 September 2017 pukul 8 malam
N : Jadinya besok jam berapa?
A : Enaknya jam berapa?
N : Aku manut
Ya begitulah saat janjian, mbak Lina lebih sering manut. Saya tau kenapa, karena dia sengaja bikin saya mikir dan konsisten sama waktu yang saya tawarkan karena saya lebih sering terlambat daripada tepat waktu-nya (ya ampun ini mutusi sekali). Akhirnya final. Pukul 07.00 pagi saya sudah harus berangkat dari rumah menuju kawasan Depok Parangtritis. Oke cus.
Bantul, 20 September 2017 pukul 6 pagi
A : Mbak, belum bisa siap-siap, sepertinya terlambat
N : Iya aku juga masih nyuci baju
A : Ada kendala teknis (yang tidak bisa saya ceritakan di postingan ini)
Pukul 7.45 pagi, saya berangkat menuju rumah mbak Lina. Perjalanan yang seharusnya hanya 15 menit, bertambah menjadi hampir 30 menit dikarenakan jalan yang masih dalam proses perbaikan. Pukul 08.30 kami berangkat melewati Jalur Lintas Selatan (Parangtritis naik lewat Panggang) dan sampai di Pantai Wohkudu pukul 09.30 pagi. Hitungannya terjangkau (dalam segi waktu maupun kondisi jalan).
Untuk bisa masuk ke kawasan Wohkudu, kita hanya diminta retribusi (ini sepertinya tidak resmi tapi tidak apa-apalah) 5000 rupiah saja untuk dua orang. Perjalanan dari kawasan retribusi Gesing dan Wohkudu melewati jalan aspal yang hanya cukup untuk dua motor atau satu mobil. Ya bayangkan saja jikalau bertemu mobil atau truk, ya habis jalannya. Memang sudah aspal, tapi tetap bergelombang. Kalau kata mbak Lina, jalannya halus tapi tidak rata. Lah, apa bedanya?
Wohkudu, 21 September 2017 pukul 09.30 pagi
Alhamdulillah kami mendarat di basecamp dengan selamat. Saya sebut basecamp karena Wohkudu ini adalah salah satu pantai yang bisa digunakan untuk camping. Setelah menitipkan motor, kami harus berjalan melewati medan berbatu selama kurang lebih 10 menit. Bagi yang sudah terbiasa olah fisik sih tidak masalah, bagi yang belum ya biasanya tanya: masih jauh nggak? Hahaha (ini bukan aku lho ya). Apalagi sepanjang perjalanan melihat sekawanan monyet yang menggemaskan. Jadi ingin bawa pulang satu, sayangnya haram. Haram karena … ya satwa dilindungi masa dibawa pulang.
Sesampainya di Wohkudu, mbak Lina agak kaget juga karena pantainya kecil. Sempit mungkin maksudnya. Kalau saya hitung menggunakan ilmu ghaib, kurang lebih hanya 100 meter saja (gimana nggak ghaib, ngitungnya hanya di awang-awang saja). Tapi elok. Seperti ini!
Wohkudu, 21 September pukul 11.47 siang
Kami sudah selesai berbincang. Lebih sering menggila sih, terutama saya. Maklum, akhir-akhir ini agak konslet karena ….. (rahasia). Setelah menikmati pantai yang elok dan serasa milik sendiri karena tidak banyak pengunjungnya, kami bergegas mencari sesuap nasi untuk perut yang sudah lapar ini. Saya mengusulkan ke Semanu membeli mie ayam thing thong (nggak fokus, nyari nasi, usulnya mie ayam). Wah apalagi itu? Ohya, biaya parkirnya 3000 rupiah saja. Jadi kalau kalian mau ke Wohkudu, cukup bawa 5500 rupiah per orang untuk retribusi dan parkir beserta uang tambahan jikalau ingin membeli beberapa camilan di 3 warung yang disediakan.
Semanu, 21 September pukul 01.50 siang
Perjalanan dilanjutkan. Mulai dari membahas keanekaragaman hayati, harga tanah, pohon jati, pasokan air, pokoknya semuanya menjadi perbincangan bermutu karena mbak Lina lulusan pertanian. Sesampainya di Semanu arah Wonosari, titik peta berhenti. Tengok sana-sini tetap tak ada warung yang dicari. Akhirnya ambil arah kiri, tapi nihil, malah ada cucian mobil. Akhirnya kembali ke tempat semula dan bergerak sejauh 1 kilometer, lalu berhenti. Sebenarnya saya sudah lapar sekali, mbak Lina saya rasa juga demikian. Kesel iya, tapi masa iya nyalahin aplikasi.
Teknologi GPS dari aplikasi mungkin bisa diharapkan. Tapi dalam keadaan seperti ini, Gunakan Penduduk Setempat adalah keputusan yang paling memungkinkan. Kami mampir di tempat potong rambut dan menanyakan di manakah sesungguhnya Mie Ayam Thing Thong berada. Kata ibunya: mbak nanti lurus, ada perempatan ambil kanan sedikit, nanti ada tulisan mie ayam thing thong. Baiklah kami mencoba mengikuti petunjuk si ibu dan Alhamdulillah. Hal yang saya takutkan tidak terjadi. Awalnya saya mikir jikalau sudah hampir 1,5 jam menyusuri jalanan Gunungkidul yang penuh tanjakan dan turunan tapi mie ayam-nya tutup kan nggak enak sama driver saya (baca: mbak Lina). Beruntung warungnya buka dan cukup sepi.
Kami memesan dua mie ayam baso (ini yakin saking laparnya) dan dua gelas es lemon tea. Selang sekitar 15 menit, mie bakso dan es lemon tea disajikan. Tanpa banyak kata, habislah dua mangkok yang sebenarnya dari segi rasa sih standar Wonogiri, tapi yang membedakan adalah tambahan kriuknya yang bikin nagih! Sayangnya tadi lupa dibungkus bawa pulang ya, hahaha. Ini lho penampakannya:
Cukup 13000 untuk satu porsi mie ayam bakso yang bikin kenyang banget dan 3000 untuk segelas es lemon tea yang seger banget. Jadi, udah kangen sama pantai pasir putih belum? Hehe. Oke deh sekian dulu untuk hari ini. Selamat Vakansi ke Gunungkidul Handayani!