“Selanjutnya adalah tahap ideate. Dalam tahap ini, kami meng-explore banyak ide, membuat daftarnya, dan menentukan gagasan terbaik untuk diimplementasikan. Setelah berdiskusi, kami menentukan satu ide terbaik yaitu ….”
Pikiranku seketika buyar. Aku menemukan sosok yang begitu ku kenal sedang berjalan ke arahku. Dia, yang ku cintai, berjalan mendekat ke arahku dengan senyum khasnya. Bersama seorang perempuan. Aku tergagap. Lalu ku ulurkan tangan guna menerima salam kedatangannya.
Tiba-tiba apa yang disampaikan Mus terdengar berulang-ulang di kepala. Berdengung. Lewat telinga. Padahal sudah sedari tadi sore kami berdua duduk di tempat yang sama. Saling bertukar pikiran untuk mempelajari presentasi yang akan kami sampaikan di hadapan juri. Sewajarnya kami semakin mantap, tapi kok ini malah blank ya.
“Mus, pulang yuk?” Ajakku. “Aku sudah lelah..” tambahku.
Ada pemandangan aneh di depan sana. Tepat di depan bola mataku, berjarak sekitar 20 meter. Dua manusia saling bercanda. Sepasang kekasih sedang berbagi rasa. Lalu, apa salahnya? Salah. Karena laki-laki itu, pernah ingin ku miliki seutuhnya.
“Nad? Ayo siap-siap, katanya mau pulang?” Mus mengagetkan.
“Eh iya, sebentar.”
Mus berdiri. Memberi tembok antara mataku dengan keberadaan dua manusia itu. Mus terheran-heran, ada apakah gerangan? Karena bukan aku bila tak meramaikan suasana. Apalagi ini presentasi yang ku tunggu-tunggu setahun lalu. Apalagi aku biasanya senang berbicara di hadapan orang banyak. Namun kali ini, ada apa?
“Nad, kamu kenapa?”
“Ha? Eh? Nggakpapa Mus. Mungkin kecapekan.”
“Yakin? Lima menit yang lalu kamu nggak begini lho. Masih bisa ketawa. Apa laper? Yaudah pesen makan lagi sana..”
“Enggak. Kita pulang aja ya sekarang?”
“Yaudah nanti latihannya video call aja. Sebentar ya.”
Mus berdiri, berjalan menuju meja kasir. Dia membayar pesanan kami malam itu. Sungguh aku linglung hingga lupa membayar. Bahkan berdiri pun rasanya tak kuat. Mus paham. Dia meraih tanganku, menggandeng perlahan keluar kafe Aita menuju tempat parkir.
“Mus, ini kan hari terakhir Aita buka di sini ya? Aku.. Ya aku pengen aja ngabisin waktu di tempat yang sering jadi tempatku belajar atau sekedar menghabiskan waktu. Aku pengen aja ketemu suasananya. Tapi kenapa malah gini…”
Tak terasa ada air mata yang mengalir. Lalu aku terduduk begitu saja di tepian tembok parkiran. Mus yang awalnya berdiri, turut duduk di sampingku. Memandangiku.
“Maaf ya Mus…”
“Nggak papa… Take your time…”
—
Lima menit berlalu dan aku merasa sudah cukup tenang. Aku menunjukkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal, namun gambar wajahnya mirip lelaki yang menyalamiku tadi.
Semangat ya!
“Ini, yang ngirim cowok yang tadi Nad?”
“Iya…”
“Dia siapa?”
“Bukan siapa-siapa kok.”
“Lalu, mengapa menangisinya? Kamu nggak pernah secengeng ini lho Nad. Kayak bocah lah. Kamu kan dah 17 tahun. Udah ada KTP, SIM. Masa dikirimin pesan –Semangat ya– aja nangis. Yaela…”
Aku tau, Mus berusaha menghiburku. Tapi saat itu rasanya memang kosong.
“Nggak enak ya Mus?”
“Kentang gorengku tadi sih enak. Nggak tau deh ayam geprekmu.”
“Mus, serius…”
“Iya aku serius..”
“Aku boleh bahagia nggak sih Mus?”
“Setiap manusia berhak bahagia Nad. Wajib malah.”
“Nggak enak ya. Lihat langsung orang yang kita sayang, lagi bareng sama pacarnya. Mungkin kita bisa merelakan dia bersama yang lain, tapi, nggak bisa aja liat live streaming kek gitu.”
“Suruh siapa liat…”
“Lah kan mereka duduk pas di depanku?”
“Kan udah aku tutupin. Kamunya aja nyuri-nyuri pandang ke mereka. Cemburu ya?”
“Enggaklah. Cuma nggak bisa lihat yang begituan aja sih.”
“Yaudah pulang yuk, istirahat. Siapa esok tau lebih baik. Presentasi lho! Ingat!”
Lalu aku menjawab pesan lelaki itu : “Hari ini Aita tutup, begitu pula kisah kita.”
Dan Mus mengantarku pulang.
NB: Aita pindah beneran lho ya. Dulunya di depan Mulia Toserba, sekarang pindah ke depan SMAN 1 Bantul (SABA). Maaf pinjam namanya ya Mus, Nad. Hasan jangan cemburu ya 😀